بسم الله الرحمن الرحيم
مقدمة
قال
محمد هو ابن مالك # احمد ربي الله خير مالك
Muhammad anak
lelakinya Malik berkata * Aku memuji Allah Tuhanku Sebaik-baiknya Raja
Ibnu Malik, nama lengkapnya adalah Muhammad Jamaluddin ibn
Abdillah ibn Malik al-Thay, lahir pada tahun 600 H. di Jayyan. Daerah ini
sebuah kota kecil di bawah kekuasaan Andalusia (Spanyol). Pada saat itu, penduduk negeri ini
sangat cinta kepada ilmu, dan mereka berpacu dalam menempuh pendidikan, bahkan
berpacu pula dalam karang-mengarang buku-buku ilmiah. Pada masa kecil, Ibn
Malik menuntut ilmu di daerahnya, terutama belajar pada Syaikh Al-Syalaubini
(w. 645 H). Setelah menginjak dewasa, ia berangkat ke Timur untuk menunaikan
ibadah haji,dan diteruskan menempuh ilmu di Damaskus. Di sana ia belajar ilmu dari beberapa ulama
setempat, antara lain Al-Sakhawi (w. 643 H). Dari sana
berangkat lagi ke Aleppo,
dan belajar ilmu kepada Syaikh Ibn Ya’isy al-Halaby (w. 643 H).
Di kawasan dua kota
ini nama Ibn Malik mulai dikenal dan dikagumi oleh para ilmuan, karena cerdas
dan pemikirannya jernih. Ia banyak menampilkan teori-teori nahwiyah yang
menggambarkan teori-teori mazhab Andalusia,
yang jarang diketahui oleh orang-orang Syiria waktu itu. Teori nahwiyah semacam
ini, banyak diikuti oleh murid-muridnya, seperti imam Al-Nawawi, Ibn al-Athar,
Al-Mizzi, Al-Dzahabi, Al-Shairafi, dan Qadli al-Qudlat Ibn Jama’ah. Untuk
menguatkan teorinya, sarjana besar kelahiran Eropa ini, senantiasa mengambil
saksi (syahid) dari teks-teks Al-Qur’an. Kalau tidak didapatkan, ia menyajikan
teks Al-Hadits. Kalau tidak didapatkan lagi, ia mengambil saksi dari
sya’ir-sya’ir sastrawan Arab kenamaan. Semua pemikiran yang diproses melalui
paradigma ini dituangkan dalam kitab-kitab karangannya, baik berbentuk nazhom
(syair puitis) atau berbentuk natsar (prosa). Pada umumnya, karangan tokoh ini
lebih baik dan lebih indah dari pada tokoh-tokoh pendahulunya.
Di antara ulama, ada yang menghimpun semua tulisannya,
ternyata tulisan itu lebih banyak berbentuk nazham. Demikian tulisan Al-Sayuthi
dalam kitabnya, Bughyat al-Wu’at. Di antara karangannya adalah Nazhom
al-Kafiyah al-Syafiyah yang terdiri dari 2757 bait. Kitab ini menyajikan semua
informasi tentang Ilmu Nahwu dan Shorof yang diikuti dengan komentar (syarah).
Kemudian kitab ini diringkas menjadi seribu bait, yang kini terkenal dengan
nama Alfiyah Ibn Malik. Kitab ini bisa disebut Al-Khulashah (ringkasan) karena
isinya mengutip inti uraian dari Al-Kafiyah, dan bisa juga disebut Alfiyah
(ribuan) karena bait syairnya terdiri dari seribu baris. Kitab ini terdiri dari
delapan puluh (80) bab, dan setiap bab diisi oleh beberapa bait.
Bab yang terpendek diisi oleh dua bait seperti Bab
al-Ikhtishash dan bab yang terpanjang adalah Jama’ Taktsir karena diisi empat
puluh dua bait. Dalam muqaddimahnya, kitab puisi yang memakai Bahar Rojaz ini
disusun dengan maksud (1) menghimpun semua permasalahan nahwiyah dan shorof
yang dianggap penting. (2) menerangkan hal-hal yang rumit dengan bahasa yang
singkat , tetapi sanggup menghimpun kaidah yang berbeda-beda, atau dengan
sebuah contoh yang bisa menggambarkan satu persyaratan yang diperlukan oleh
kaidah itu.(3) membangkitkan perasaan senang bagi orang yang ingin mempelajari
isinya. Semua itu terbukti, sehingga kitab ini lebih baik dari pada Kitab
Alfiyah karya Ibn Mu’thi. Meskipun begitu, penulisnya tetap menghargai Ibnu
Mu’thi karena tokoh ini membuka kreativitas dan lebih senior. Dalam Islam,
semua junior harus menghargai seniornya, paling tidak karena dia lebih sepuh,
dan menampilkan kreativitas.
Kitab Khulashoh yang telah diterjemahkan ke dalam banyak
bahasa di dunia ini, memiliki posisi yang penting dalam perkembangan Ilmu
Nahwu. Berkat kitab ini dan kitab aslinya, nama Ibn Malik menjadi popular, dan
pendapatnya banyak dikutip oleh para ulama, termasuk ulama yang mengembangkan
ilmu di Timur. Al-Radli, seorang cendekiawan besar ketika menyusun Syarah
Al-Kafiyah karya Ibn Hajib, banyaklah mengutip dan mempopulerkan pendapat Ibn
Malik. Dengan kata lain, perkembangan nahwu setelah ambruknya beberapa akademisi
Abbasiyah di Baghdad, dan merosotnya para ilmuan Daulat Fathimiyah di Mesir,
maka para pelajar pada umumnya mengikuti pemikiran Ibnu Malik. Sebelum kerajaan
besar di Andalusia runtuh, pelajaran nahwu
pada awalnya, tidak banyak diminati oleh masyarakat. Tetapi setelah lama,
pelajaran ini menjadi kebutuhan dan dinamislah gerakan karang-mengarang kitab
tentang ilmu yang menarik bagi kaum santri ini. Di sana beredarlah banyak karangan yang
beda-beda, dari karangan yang paling singkat sampai karangan yang terurai
lebar. Maksud penulisnya ingin menyebarkan ilmu ini, kepada masyarakat, dan
dapat diambil manfaat oleh kaum pelajar. Dari sekian banyak itu, muncullah Ibn
Malik, Ibn Hisyam, dan al-Sayuthi. Karangan mereka tentang kitab-kitab nahwu
banyak menampilkan metoda baru dan banyak menyajikan trobosan baru, yang
memperkaya khazanah keilmuan. Mereka tetap menampilkan khazanah keilmuan baru,
meskipun banyak pula teori-teori lama yang masih dipakai. Dengan kata lain,
mereka menampilkan gagasan dan kreatifitas yang baru, seolah-olah hidup mereka
disiapkan untuk menjadi penerus Imam Sibawaih (Penggagas munculnya Nahwu dan
Shorof, red.). Atas dasar itu, Alfiyah Ibn Malik adalah kitab yang amat banyak
dibantu oleh ulama-ulama lain dengan menulis syarah (ulasan) dan hasyiyah
(catatan pinggir) terhadap syarah itu.
Dalam kitab Kasyf al-Zhunun, para ulama penulis Syarah
Alfiyah berjumlah lebih dari empat puluh orang. Mereka ada yang menulis dengan
panjang lebar, ada yang menulis dengan singkat (mukhtashar), dan ada pula ulama
yang tulisannya belum selesai. Di sela-sela itu muncullah beberapa kreasi baru
dari beberapa ulama yang memberikan catatan pinggir (hasyiyah) terhadap
kitab-kitab syarah. Syarah Alfiyah yang ditulis pertama adalah buah pena putera
Ibn Malik sendiri, Muhammad Badruddin (w.686 H). Syarah ini banyak mengkritik
pemikiran nahwiyah yang diuraikan oleh ayahnya, seperti kritik tentang uraian
maf’ul mutlaq, tanazu’ dan sifat mutasyabihat. Kritikannya itu aneh tapi putera
ini yakin bahwa tulisan ayahnya perlu ditata ulang. Atas dasar itu, Badruddin
mengarang bait Alfiyah tandingan dan mengambil syahid dari ayat al-Qur’an.
Disitu tampak rasional juga, tetapi hampir semua ilmuan tahu bahwa tidak semua
teks al-Qur’an bisa disesuaikan dengan teori-teori nahwiyah yang sudah dianggap
baku oleh
ulama. Kritikus yang pada masa mudanya bertempat di Ba’labak ini, sangat
rasional dan cukup beralasan, hanya saja ia banyak mendukung teori-teori
nahwiyah yang syadz Karena itu, penulis-penulis Syarah Alfiyah yang muncul
berikutnya, seperti Ibn Hisyam, Ibn Aqil, dan Al-Asymuni, banyak meralat alur
pemikiran putra Ibn Malik tadi. Meskipun begitu, Syarah Badrudin ini cukup
menarik, sehingga banyak juga ulama besar yang menulis hasyiyah untuknya,
seperti karya Ibn Jama’ah (w.819 H), Al-‘Ainy (w.855 H), Zakaria al-Anshariy
(w.191 H), Al-Sayuthi (w.911 H), Ibn Qasim al-Abbadi (w.994 H), dan Qadli
Taqiyuddin ibn Abdulqadir al-Tamimiy (w.1005 H).
Di antara penulis-penulis syarah Alfiyah lainnya, yang
bisa ditampilkan dalam tulisan ini, adalah Al-Muradi, Ibn Hisyam, Ibn Aqil, dan
Al-Asymuni.
Al-Muradi (w. 749 H) menulis dua kitab syarah untuk kitab
Tashil al-Fawaid dan Nazham Alfiyah, keduanya karya Ibn Malik. Meskipun syarah
ini tidak popular di Indonseia, tetapi pendapat-pendapatnya banyak dikutip oleh
ulama lain. Antara lain Al-Damaminy (w. 827 H) seorang sastrawan besar ketika
menulis syarah Tashil al-Fawaid menjadikan karya Al-Muradi itu sebagai kitab
rujukan. Begitu pula Al-Asymuni ketika menyusun Syarah Alfiyah dan Ibn Hisyam
ketika menyusun Al-Mughni banyak mengutip pemikiran al-Muradi yang muridnya Abu
Hayyan itu.
Ibn Hisyam (w.761 H) adalah ahli nahwu raksasa yang
karya-karyanya banyak dikagumi oleh ulama berikutnya. Di antara karya itu
Syarah Alfiyah yang bernama Audlah al-Masalik yang terkenal dengan sebutan
Audlah . Dalam kitab ini ia banyak menyempurnakan definisi suatu istilah yang
konsepnya telah disusun oleh Ibn Malik, seperti definisi tentang tamyiz. Ia
juga banyak menertibkan kaidah-kaidah yang antara satu sama lain bertemu,
seperti kaidah-kaidah dalam Bab Tashrif. Tentu saja, ia tidak hanya terpaku
oleh Mazhab Andalusia, tetapi juga mengutip Mazhab Kufa, Bashrah dan
semacamnya. Kitab ini cukup menarik, sehingga banyak ulama besar yang menulis
hasyiyahnya. Antara lain Hasyiyah Al-Sayuthi, Hasyiyah Ibn Jama’ah, Ha-syiyah
Putera Ibn Hisyam sendiri, Hasyiyah Al-Ainiy, Hasyiyah Al-Karkhi, Hasyiyah
Al-Sa’di al-Maliki al-Makki, dan yang menarik lagi adalah catatan kaki ( ta’liq
) bagi Kitab al-Taudlih yang disusun oleh Khalid ibn Abdullah al-Azhari (w. 905
H).
Adapun Ibn Aqil (w. 769 H) adalah ulama kelahiran Aleppo dan pernah menjabat
sebagai penghulu besar di Mesir. Karya tulisnya banyak, tetapi yang terkenal
adalah Syarah Alfiyah. Syarah ini sangat sederhana dan mudah dicerna oleh
orang-orang pemula yang ingin mempelajari Alfiyah Ibn Malik . Ia mampu
menguraikan bait-bait Alfiyah secara metodologis, sehingga terungkaplah apa
yang dimaksudkan oleh Ibn Malik pada umumnya. Penulis berpendapat, bahwa kitab
ini adalah Syarah Alfiyah yang paling banyak beredar di pondok-pondok
pesantren, dan banyak dibaca oleh kaum santri di Indonesia. Terhadap syarah ini,
ulama berikutnya tampil untuk menulis hasyiyahnya. Antara lain Hasyiyah Ibn
al-Mayyit, Hasyiyah Athiyah al-Ajhuri, Hasyiyah al-Syuja’i, dan Hasyiyah
Al-Khudlariy.
Syarah Alfiyah yang hebat lagi adalah Manhaj al-Salik
karya Al-Asymuni (w. 929 H). Syarah ini sangat kaya akan informasi, dan sumber
kutipannya sangat bervariasi. Syarah ini dapat dinilai sebagai kitab nahwu yang
paling sempurna, karena memasukkan berbagai pendapat mazhab dengan
argumentasinya masing-masing. Dalam syarah ini, pendapat para penulis Syarah
Alfiyah sebelumnya banyak dikutip dan dianalisa. Antara lain mengulas pendapat
Putra Ibn Malik, Al-Muradi, Ibn Aqil, Al-Sayuthi, dan Ibn Hisyam, bahkan
dikutip pula komentar Ibn Malik sendiri yang dituangkan dalam Syarah Al-Kafiyah
, tetapi tidak dicantumkan dalam Alfiyah . Semua kutipan-kutipan itu diletakkan
pada posisi yang tepat dan disajikan secara sistematis, sehingga para pembaca
mudah menyelusuri suatu pendapat dari sumber aslinya.
Kitab ini memiliki banyak hasyiyah juga, antara lain :
Hasyiyah Hasan ibn Ali al-Mudabbighi, Hasyiyah Ahmad ibn Umar al-Asqathi,
Hasyiyah al-Hifni, dan Hasyiyah al-Shabban. Dalam muqaddimah hasyiyah yang
disebut akhir ini, penulisnya mencantumkan ulasan, bahwa metodanya didasarkan
atas tiga unsur, yaitu (a) Karangannya akan merangkum semua pendapat ulama
nahwu yang mendahului penulis, yang terurai dalam kitab-kitab syarah al-Asymuni.
(b) Karangannya akan mengulas beberapa masalah yang sering menimbulkan salah
faham bagi pembaca. (c) Menyajikan komentar baru yang belum ditampilkan oleh
penulis hasyiyah sebelumnya. Dengan demikian, kitab ini bisa dinilai sebagai
pelengkap catatan bagi orang yang ingin mempelajari teori-teori ilmu nahwu.
مصليا
على الرسول المصطفى # واهله المستكملين الشرفا
Dengan membaca
sholawat atas Rasul yang Terpilih * dan keluarganya yaitu orang-orang yang
semprna lagi mulia.
واستعين
الله في الفية # مقاصد النحو بها محوية
Dan aku minta
tolong pada Allah didalam menyusun Kitab Alfiyah * yang denganya ,
maksud-maksud ilmu nahwu telah tercakup.
تفرب
الأقصى بلفظ موجز # وتبسط البذل بوعد منجز
(Alfiyah)
mendekatkan/menjangkau pengertian yang jauh/mendalam dengan lafazh yang singkat
* dan meluaskan pemberian /pemahaman yang banyak dengan janji yang kontan
(waktu yang cepat)
وتقتضى
رضا بغير سخط # فائقة ألفية ابن المعطى
Maka ia menuntut
keridhoan tanpa kemarahan ( ketekunan dan kesabaran dalam mempelajarinya ) * Ia
telah mencakup Kitab Alfiyah karangan Ibn Mu’thi.
وهو
بسبق حائز تفضيلا # مستوجب ثنائي الجميلا
Dan sebab lebih
dulu sebetulnya beliaulah yang berhaq memperoleh keutamaan * dan mewajibkan pujian baiku (untuknya ).
والله
يقضى بهبات وافرة # لي وله في درجات الأخرة
Semoga Allah
mnetapkan pemberian-pemberian yang sempurna * untuku dan untuknya didalam
derajat-derajat akhirat.